Pendahuluan.
Berbagai program telah banyak
dikembangkan dalam upaya memperkecil angka kesakitan dan kematian akibat kerja.
Program2 tersebut berkembang atas dasar
pendekatan yang dipergunakan mulai dari yang menggunakan pendekatan rekayasa,
kemudian pendekatan sistim kemudian yang dewasa ini banyak diterapkan
menggunakan pendekatan perilaku serta budaya.
Pendekatan
perilaku dan budaya banyak diterapkan oleh karena masih melekatnya pandangan
yang menganggap bahwa penyebab kecelakaan banyak disebabkan oleh faktor
perilaku manusia dan juga belum membudayanya K3.
Berkembangnya
pendekatan budaya keselamatan dan kesehatan (Health and Safety Culture) mulai
dikenal setelah terjadinya peristiwa Chernobyl di thn 1986.
Istilah
Budaya Keselamatan (safety culture) sebagai bagian dari Budaya
Organisasi (organizational culture) menjadi populer dan mulai diugunakan
sebagai pendekatan untuk lebih memantapkan implementasi sistim manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja.
Secara
global, di dunia akademis berkembang berbagai konsep dan model untuk menilai
maupun mengembangkan budaya K3. Begitu juga perkembangan yang terjadi didalam
dunia praktis yang umumnya berlandaskan pada pendekatan keilmuan yang
berkembang saat itu. Namun tak dapat disangkal terdapat pula beberapa program
yang berkembang tidak berakar pada konsep keilmuan yang
ada
sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi di dalam penerapan.
Istilah budaya keselamatan (safety
culture) pertama kali tertera dalam laporan yang disusun oleh ‘International
Nuclear Safety Advisory Group’ (INSAG) pada tahun 1987 yang membahas peristiwa ‘Chernobyl’
didalam laporan dari International Nuclear Safety Advisory Group berjudul ’Safety
Culture’ (SAFETY SERIES No.75-INSAG-4), yang oleh IAEA di publikasikan pada
1991¹.
Atas
dasar itu ’International Atomic Energy Agency’ (IAEA) menyusun Konsep
atau Model, Metoda Pengkuran Budaya Keselamatan (Safety
Culture) sebagaibagian dari Budaya Organisasi (Organizational Culture). Kemudian
disusun pulamodel dasar pembudayaan Keselamatan Instalasi Nuklir sebagai
panduanprogram untuk pengembangan budaya keselamatan instalasi nuklir di
tingkat internasional, regional, maupun pada tingkat nasional
negara-negaraanggotanya.
Merujuk
pada konsep IAEA, BAPETEN dan BATAN di Indonesia telah mulai menyusun model
budaya K3 dan alat ukurnya sebelum tahun 2005 dalam rangka meningkatkan budaya
keselamatan instalasi². Sedangkan di sektor lain seperti Migas, Minerba,
Panas Bumi, Manufaktur dan lainnya saat ini juga banyak dilakukan program
pengembangan perilaku dan budaya K3, sesuai dengan rujukannya masing sektor.
Apakah berbagai program yang sudah
dijalankan tersebut telah membangun budaya K3 di dunia kerja?. Ini merupakan
suatu pertanyaan yang tidak bisa di jawab dengan cepat dan mudah. Tapi juga
tidak bisa disangkal bila banyak pendapat yang menungkapkan bahwa K3 belum
membudaya di Industri di Indonesia. Akibatnya seringkali terjadi diskusi yang
berkepanjangan terutama pada saat menentukan apa indikatornya budaya K3.
Indikator
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Berbagai Model Budaya Keselamatan
umumnya berkembang dari lingkup ilmu2 perilaku (Behavioral Sciences:
antropologi, sosiologi dan psikologi). Terutama dalam pendekatan Organisasi
dan Manajemen serta Psikologi Organisasi yang kajiannya
khusus mempelajari masalah manusia dalam bidang Keselamatan (Safety).
Perkembangan tersebut banyak menciptakan berbagai model Budaya Keselamatan
dengan masing-masing indikator budaya keselamatan yang sebagian besar dewasa
ini banyak dipergunakan di berbagai sektor di industri maupun jasa pelayanan³.
Tentu
saja terdapat berbagai model dan indikator Budaya Keselamatan mulai dari yang
paling majemuk dan sulit difahami hingga yang sederhana dan mudah di mengerti
oleh kalangan praktisi. Salah satu model yang sering dianggap sederhana dan
mudah untuk difahami indikator2nya adalah model Budaya keselamatan dari seorang
ahli psikologi organisasi yang banyak meneliti dan menjadi konsultan dalam
mengembangkan perilaku selamat (safety behavior) dan budaya keselamatan (safety
culture) yaitu Dominic Cooper⁵. Menurutnya Budaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di sebuah perusahaan yang merupakan bagian dari budaya
organisasi bisa dilihat dari 3 indikator yaitu :
1.
Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (psychological aspects, what people
feel, what is believe)
2.
Aspek perilaku K3 pekerja (behavioral aspects, what people do, what is
done,)
3.
Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (situational aspects,
what organizational has, what is said)
Menurutu
pandangan ini bila suatu perusahaan mempunyai budaya K3 yang kuat tentu
akan memiliki budaya organisasi juga kuat dan akan berorientasi pada K3
dalam produksi. Pekerja atau SDM diperusahaan tentu akan memiliki nilia2 K3 dan
persepsi terhadap bahaya secara benar yang serta akan menampilkan perilaku K3
yang diharapkan secara konsisten. Perusahaan juga akan mempunyai organisasi dan
manajemen, system manajemen K3 yang tepat dan diterapkan secara konsisten
serta mempunyai peralatan dan anggaran yang sesuai dan lain sebagainya.
Budaya K3 merupakan sebuah kesatuan dari tiga aspek yaitu nilai – nilai K3 dan
persepsi K3 dari setiap pekerja, aspek perilaku K3 bekerja sehari – hari
dan juga aspek Organisasi dan Manajemen K3 yang ada diperusahaan. Ketiga
aspek tersebut saling berinteraksi dan berkaitan antara satu dan yang lainnya
dan tidak dapat berdiri sendiri secara terpisah.
Karena itu budaya keselamatan tidak dapat digambarkan hanya dengan sebuah
indikator saja ( single indicator ) yang hanya menggambarkan salah satu aspek
saja. Budaya keselamatan merupakan suatu konsep yang menyangkut aspek manusia (
Human being ) yang memilki aspek internal yang tidak terlihat ( Mind ) maupun
eksternal yang terlihat ( Behavior ) yang tentunya keberadaannya hadir dalam
suatu konteks social ( Community atau Organization ).
Oleh
karenanya budaya keselamatan perlu difahami dalam kerangka indikator ganda (
Multiple Indicators ) yaitu indikator psikologis, indikator perilaku dan
indikator organisasi. Tanpa ketiga indikator tersebut sulit untuk memperoleh
gambaran suatu budaya keselamatan sebagai bagian dari budaya organisasi
disebuah perusahaan.
Program
dalam mengembangkan Budaya K3
Program
pengembangan Budaya K3 secara global sangat bervariasi karena masing-masing
program dilandasi oleh model konsepsual yang dipakai. Pada umumnya program yang
ada sifatnya sangat komprehensif dan biasanya terdiri dari suatu program utama
yang kemudian dikuti dengan beberapa program lainnya yang satu sama lain saling
terkait dan tidak berdiri sendiri-sendiri secara terpisah. Program tersebut
biasanya tersusun secara sistimatis dan terencana dalam kerangka waktu yang
panjang.
Seperti contoh misalnya, di sebuah
tambang batubara (coalmining) yang saat ini mengembangkan budaya selamat
melalui pendekatan Leadership (keteladanan dalam keselamatan) juga
mengembangkan program2 lain yang terkait seperti misalnya dengan program
Behavioral-Based Safety, peningkatan pengawasan serta pengembangan dan
pemantuan penerapan sistim manajemen
K3
terintegrasi dan juga kelengkapan peralatan K3 dan lain2 sebagainya.
Biasanya
sebelum program di mulai dilakukan terlebih dahulu kajian (assessment) terhadap
kondisi yang ada saat itu untuk mendapat gambaran profile budaya keselamatan
yang ada sehingga tergambar aspek yang perlu ditingkatkan dan aspek2 yang perlu
dipertahankan. Setelah program dijalankan kemudian dalam kurun waktu satu tahun
dapat diukur lagi perubahan yang terjadi dan kemudian disusun kembali program
lainnya sebagai suatu program perbaikan yang berkelanjutan (continuous
improvement).
Contoh
di tambang batubara yang lain, adalah pengembangan program ‘Peningkatan
Kepempinan Keselamatan pada Supervisor’ (supervisory safety leadership
improvement) yang tentunya diikuti dengan penerapan program lainnya seperti
Behavior-Based Safety, JSA, Risk Management, System Audit serta penigkatan
pemahaman SMK3 pada seluruh pekerja disemua tingkatan.
Karena itulah banyak kajian, baik dalam
jurnal ilmiah maupun praktis, yang membahas program2 tunggal yang hanya
terfokus pada satu aspek saja (missal pada aspek perilaku manusia) yang
mempertanyakan keberhasilan program tunggal tersebut terhadap perubahan
meningkatnya budaya K3.
Semakin
jelas bahwa hanya dengan suatu program tunggal saja yang hanya terfokus
pada satu aspek, misal pada aspek perilaku manusianya semata-mata, nampaknya
akan mempunyai dampak yang tidak besar pada peningkatan budaya K3 di
organisasi. Karena aspek lain seperti aspek psikologis dan terutama aspek
organisasi dan sistim manajemen K3 tidak kalah penting dan mempunyai peranan
yang cukup besar dalam meningkatkan budaya K3.
Kendala
dalam mengembangan Budaya K3
Berbagai program secara global telah
banyak dikembangkan untuk meningkatkan Budaya K3, namun tidak sedikit kendala
yang dihadapi dalam mengembangkan budaya K3 diperusahaan. Salah satu kendala
yang paling utama dan bersifat umum serta banyak terjadi adalah kesalahan dalam
memahami pengertian budaya K3 itu sendiri (misunderstandings and even misuse
of the concept)⁶.
Sebagai
contohnya hingga saat ini hampir sebagian besar dari kita selalu memiliki
kecendrungan untuk mengklasifikasikan setiap peristiwa kejadian atau kecelakaan
karena adanya kesalahan manusia (human error) akibat buruknya budaya selamat.
Padahal kesalahan manusia (human error) dapat terjadi didalam
sebuah
organisasi yang mempunyai budaya selamat yang sangat baik sekalipun karena
kesalahan manusia terjadi akibat berbagai macam faktor.⁷
Kendala lain adalah masih banyak orang
yang menyukai paradigm “blaming the person” yang memandang bahwa faktor
kesalahan manusialah yang menjadi sumber penyebab (causes) kecelakaan
dan tidak beranggapan atau melihat faktor kesalahan manusia sebagai sebuah
akibat (effect) dari suatu keadaan. Pandangan yang demikian ini tentu
saja mempunyai dampak dalam pengembangan program yang selalu tertuju hanya pada
satu aspek saja sambil melupakan aspek2 penting lainnya dalam budaya
keselamatan.
Dari sudut pandang lain
hambatan-hambatan dalam pengembangan program membudayakan K3 seringkali
disebabkan oleh masalah kesiapan dari organisasinya sendiri terutama dari Budaya
Organisasi perusahaan yang sering mempunyai orientasi yang belum kuat dan
tidak focus terhadap masalah K3. Belum tingginya tingkat kesadaran top
Manajemen juga dapat menjadi hambatan karena masih memandang K3 sebagai suatu
biaya atau pengeluaran yang tidak terkait langsung dengan tingkat produktifitas
bahkan sering dipandang sebagai sesuatu yang memperbesar biaya produksi. Hambatan
lain yang juga sering menjadi pembicaraan umum adalah dari aspek pekerja atau
sumber daya manusia disetiap tingkatan yang umumnya masih menganggap
keselamatan bukan sebagai sebuah nilai penting karena tidak terpaparnya mereka
pada nilainilai K3 sejak dini dalam pendidikan formal maupun pendidikan non
formal.
Kesimpulan
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
saat ini menjadi Pilar dalam Kerangka Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (The Pillars of Global Strategy of Occupational Safety and Health).
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengembangkan kerangka kerja
membudayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di industry.
Kemajemukan dan keragaman konsep Budaya
K3, sebagai bagian dari budaya organisasi, tidak perlu menjadi hambatan untuk
mengembangkan konsep budaya K3 beserta indikatornya yang komprehensif,
universal, sederhana, jelas dan mudah diukur serta mudah dipergunakan dalam
menyusun program mengembangkan budaya K3 di perusahaan. Indikator budaya K3
yang dipergunakan hendaknya tidak bersifat tunggal dan perlu meliputi indicator
aspek manusia dan organisasi-manajemen terutama aspek sistim manajemen K3 dan
penerapannya secara konsiten .
Program pengembangan budaya keselamatan
diperusahan hendaknya tidak bersifat tunggal dan perlu dilakukan dalam kerangka
yang berkesinambungan sesuai dengan falsafah ‘continuous improvement’.
Berbagai hambatan yang ada dalam
meningkatkan budaya K3 perlu diatasi secara terencana dan sistimatis. Hambatan
yang melekat pada aspek organisasi perlu diatasi dengan melakukan sosialisasi
regulasi yang ada menerapkannya secara konsisten. Sedangkan hambatan yang
terkait dengan sumber daya manusia perlu diatasi melalui peningkatan kesadaran
dan pengetahuan dalam bentuk formal maupun non formal.
Daftar Pustaka
A.I. Glendon., N.A. Stanton., Perspective on Safety Culture, Safety Science 34 (2000) 193- 214, Pergamon 2000
Annick Carnino, Management of Safety, Safety Culture and
Self-assessment, International Conference Nuclear Energy in Central Europe,
Bled, Slovenia, Sept. 11- 14, 2000
Dianne Parker, Matthew Lawrie, Patrick Hudson, A framework for
understanding the development of organisational safety culture, Safety
Science,(2005),Elsevier 2005
Douglas A Wiegman, Hui Zhang, Terry von Taden, Gunjan Sharma and
Allysa Mitchel., A Synthesis of Safety Culture and Safet Climate Research,
TechnicalReport ARL-02-3/FAA-02-2., June 2002., Aviation Research
LaboratoryInstitute of Aviation, 2002
Dominic Cooper., Improving Safety Culture: A Practical Guide,
Applied Behavioral Science., 2001
Dominic Cooper., Improving Safety Culture: A Practical Guide,
Applied Behavioral Science., 2001
Dominic Cooper., Safety Culture, A Model for
understanding and Quantifying difficult concept, Management, Professional
Safety,June 2002.
E. Scott Geller, The Psychology of Safety Hand Book, Lewis
Publisher, 2001
F.W. Guldenmund., The Nature of Safety Culture: a review of
theory and research, Safety Science 34 (2000) 215-257, Pergamon 2000
G. Grote, C Kunzler., Diagnosis of Safety Culture in safety
management audits, Safety Science 34 (2000) 131-150, Pergamon 2000
International Atomic Energy Agency, Self-assessment of Safety
Culture in Nuclear Instalations: Highlight and Good Practices,
IAEA-TECDOC-1321, IAEA2002
International Atomic Energy Agency, ASCOT Guidelines: Guidelines
for Organizational Selfassessment of Safety Culture and for reviews by the
Assessment of the Safety Culture in Organization Team, IAEA TEC-DOC 860,
IAEA1996
International Atomic Energy Agency, Safety Culture in Nuclear
Instalations: Guidance for use in the Enhancement of Safety Culture,
IAEA-TECDOC-1329, IAEA2002
International Safety Advisory Group (INSAG), Safety Culture,
SAFETY SERIES No.75-INSAG-4, IAEA 1991
International Safety Advisory Group (INSAG), Key Practical
Issues in Strengthening Safety Culture, INSAG-15, IAEA 2002
International Safety Advisory Group (INSAG), Developing Safety
Culture in Nuclear Activities: Practical suggestion to assist progress,
SAFETY REPORTSERIES NO-11, IAEA 1998
James Reason, Managing The Risk of Organizational Accidents,
Ashgate Publishing Limited, 2006, ISBN 1 84014 0 – 1 84014 2
James Reason, Achieving a safe culture: theory and practice.,
Work and Stress, 1998, vol 12, no 3 293 306. Taylor and Francis ltd 1998
J.P. Kotter, James L. Heskett, Corporate Culture and
Performance, The Free Press, 1992
Michael S Wright., Phillip Babazon, Alison Tipping and Medha
Talwalkar, Development of Business Excellence Model of Safety Culture,
Health and SafetyExecutive 1999
Michelle A. Dolfini-Reed. Burton L. Streicher, Creating Safety
Culture, 2004 The CAN Corporation
N. McDonald, S. Corrigan, C. Daly, S. Cromie, Safety management
systems and safety culture in aircraft maintenance organizations, Safety
Science 34(2000) 151-176, Pergamon 2000.
Posting Komentar